COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Filsafat
BK
Abstrak: Cognitive-Behavior Therapy (CBT) adalah pendekatan
konseling, yang menekankan pada penyimpangan restrukturisasi kognitif sebagai
akibat dari kecelakaan yang berdampak buruk pada aspek fisik dan psikologis
mereka. Pendekatan CBT bertujuan untuk modifikasi fungsi berpikir, merasa, dan
bertindak yang memanfaatkan otak sebagai analyzer, pengambil keputusan,
mengajukan pertanyaan, bertindak, dan kembali memutuskan. Meskipun, pendekatan
tentang aspek perilaku bertujuan untuk membangun hubungan yang baik antara
masalah dengan reaksi masalah. CBT mengundang individu untuk belajar, mengubah
perilaku, santai pikiran dan tubuh untuk merasa lebih baik, berpikir lebih
jelas dan membantu untuk pengambilan keputusan yang tepat. CBT bantuan
konseling di harmonisasi berpikir, merasa dan bertindak.
Kata Kunci: Cognitive-Behavior Therapy (CBT), kognitif,
perilaku, pemikiran, perasaan,
dan akting.
Abstract: Cognitive-Behavior
Therapy (CBT) is a counseling approach, which emphasize on deviation of
cognitive restructurization as a result of accident that has bad impact on
their physical and psychological aspect. CBT approach aims for function
modification of thinking, feeling, and acting which utilize brain as a
analyzer, decision maker, asking questions, acting, and re-deciding. Though,
approach about behavior aspect aim for building good relationship between
problems with the problem reaction. CBT invite individuals to learn, changing
behavior, relaxing mind and body to feel better, thinking clearer and helping for
appropriate decision making. CBT help counseling in harmonizing thinking,
feeling and acting.
Keyword: Cognitive-Behavior Therapy (CBT),
cognitive, behavior, thinking, feeling, and
acting.
A.
Pendahuluan
Berfikir merupakan ciri khas dari
manusia yang membedakannya dengan makhluk lain. Ciri inilah membuat manusia
disebut sebagai anima intelectiva, berbeda
dengan anima sensitive dan anima vegetativa. Melalui berfikir,
manusia memutuskan tindakannya, karena berfikir merupakan fungsi kognitif
manusia. Manusia tidak hanya menerima rangsangan dari apa yang dilihatnya
melalui pengindraanya, mengingat peristiwa, serta menghubungkan satu peristiwa
dengan peristiwa lainnya dengan landasan hukum asosiatif, namun mengolah
informasi yang diperolehnya melalui pengalaman hidup serta fungsi kognitifnya.
Hal ini membuat berbagai asumsi mengenai informasi yang diterima manusia di
dalam benaknya dengan mempertimbangkan berbagai hal melalui proses berfikir dan
mengambil keputusan atas dasar pertimbangan yang dipikirkan secara matang.
Inilah ciri yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
Beberapa pengalaman para konselor
dalam melakukan praktek konseling di Indonesia, khususnya di sekolah sebagai
tempat para konselor atau guru BK berkerja, sering kali layanan konseling
dilakukan dengan cara memberikan nasihat. Pemberian nasihat diharapkan adanya
perubahan pemahaman terhadap perilaku siswa yang menyimpang. Namun perubahan
tersebut hanya beberapa kasus siswa saja yang mengalami perubahan ke arah yang
lebih baik, sisanya masih banyak siswa kembali melakukan kesalahannya karena
tidak adanya sebuah bantuan untuk melatih perilaku baru, dan siswa cenderung
enggan untuk mendengarkan nasihat.
Monty P. Satiadarma (Oemarjoedi,
2003:x) mengatakan bahwa penyimpangan prilaku manusia terjadi karena adanya
penyimpangan fungsi kognitif. Untuk memberbaiki perilaku manusia yang mengalami
penyimpangan tersebut terlebih dahulu harus dilakukan perbaikan terhadap fungsi
kognitif manusia. Pernyataan ini menunjukan pentingnya pengaruh aspek kognitif
terhadap perilaku manusia. Peran kognitif dalam mempertimbangkan keputusan
untuk malakukan tindakan tertentu menjadi fokus perhatian dalam pendekatan
cognitive-behavior therapy.
Cognitive-Behavior Therapy (CBT) merupakan pendekatan
konseling yang didasarkan atas konseptualisasi atau pemahaman pada setiap
konseli, yaitu pada keyakinan khusus konseli dan pola perilaku konseli. Proses
konseling dengan cara memahami konseli didasarkan pada restrukturisasi kognitif
yang menyimpang, keyakinan konseli untuk membawa perubahan emosi dan strategi perilaku
ke arah yang lebih baik. Oleh sebab itu CBT merupakan salah satu pendekatan
yang lebih integratif dalam konseling. (Alford & Beck, 1997)
CBT merupakan sebuah pendekatan yang
memiliki pengaruh dari pendekatan cognitive
therapy dan behavior therapy.
Oleh sebab itu, Matson & Ollendick (1988: 44) mengungkapkan bahwasanya CBT
merupakan perpaduan pendekatan dalam psikoterapi yaitu cognitive therapy dan behavior
therapy. Sehingga langkah-langkah yang dilakukan oleh cognitive therapy dan behavior
therapy ada dalam konseling yang dilakukan oleh CBT. Karakteristik CBT yang
tidak hanya menekankan pada perubahan pemahaman konseli dari sisi kognitif
namun memberikan konseling pada perilaku ke arah yang lebih baik dianggap
sebagai pendekatan konseling yang tepat untuk diterapkan di Indonesia.
B.
Pembahasan
Untuk memahami lebih jelas mengenai
CBT, berikut akan disajikan
pembahasan mengenai definisi CBT, tujuan konseling CBT, fokus konseling,
prinsip-prinsip, teknik, karakteristik CBT, serta fakta-fakta hypnosis dalam
CBT.
1.
Definisi
Cognitive-Behavior Therapy (CBT)
Aaron T. Beck (1964) mendefinisikan
CBT sebagai pendekatan konseling yang dirancang untuk menyelesaikan
permasalahan konseli pada saat ini dengan cara melakukan restrukturisasi
kognitif dan perilaku yang menyimpang. Pedekatan CBT didasarkan pada formulasi
kognitif, keyakinan dan strategi perilaku yang mengganggu. Proses konseling
didasarkan pada konseptualisasi atau pemahaman konseli atas keyakinan khusus
dan pola perilaku konseli. Harapan dari CBT yaitu munculnya restrukturisasi
kognitif yang menyimpang dan sistem kepercayaan untuk membawa perubahan emosi
dan perilaku ke arah yang lebih baik.
Matson & Ollendick (1988: 44)
mengungkapkan definisi cognitive-behavior
therapy yaitu pendekatan dengan sejumlah prosedur yang secara spesifik
menggunakan kognisi sebagai bagian utama konseling. Fokus konseling yaitu
persepsi, kepercayaan dan pikiran.
Para ahli yang tergabung dalam National Association of Cognitive-Behavioral
Therapists (NACBT), mengungkapkan bahwa definisi dari cognitive-behavior therapy yaitu suatu pendekatan psikoterapi yang
menekankan peran yang penting berpikir bagaimana kita merasakan dan apa yang
kita lakukan. (NACBT, 2007)
Bush (2003) mengungkapkan bahwa CBT
merupakan perpaduan dari dua pendekatan dalam psikoterapi yaitu cognitive therapy dan behavior therapy. Terapi kognitif
memfokuskan pada pikiran, asumsi dan kepercayaan. Terapi kognitif memfasilitasi
individu belajar mengenali dan mengubah kesalahan. Terapi kognitif tidak hanya
berkaitan dengan positive thinking,
tetapi berkaitan pula dengan happy
thinking. Sedangkan Terapi tingkah laku membantu membangun hubungan antara
situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Individu belajar
mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik,
berpikir lebih jelas dan membantu membuat keputusan yang tepat.
Pikiran negatif, perilaku negatif,
dan perasaan tidak nyaman dapat membawa individu pada permasalahan psikologis
yang lebih serius, seperti depresi, trauma, dan gangguan kecemasan. Perasaan
tidak nyaman atau negatif pada dasarnya diciptakan oleh pikiran dan perilaku
yang disfungsional. Oleh sebab itu dalam konseling, pikiran dan perilaku yang
disfungsional harus direkonstruksi sehingga dapat kembali berfungsi secara
normal.
CBT didasarkan pada konsep mengubah
pikiran dan perilaku negatif yang sangat mempengaruhi emosi. Melalui CBT,
konseli terlibat aktivitas dan berpartisipasi dalam training untuk diri dengan
cara membuat keputusan, penguatan diri dan strategi lain yang mengacu pada self-regulation (Matson & Ollendick,
1988: 44).
Teori Cognitive-Behavior
(Oemarjoedi, 2003: 6) pada dasarnya meyakini pola pemikiran manusia terbentuk
melalui proses Stimulus-Kognisi-Respon (SKR), yang saling berkaitan dan
membentuk semacam jaringan SKR dalam otak manusia, di mana proses kognitif
menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa dan
bertindak.
Sementara dengan adanya keyakinan
bahwa manusia memiliki potensi untuk menyerap pemikiran yang rasional dan
irasional, di mana pemikiran yang irasional dapat menimbulkan gangguan emosi
dan tingkah laku yang menyimpang, maka CBT diarahkan pada modifikasi fungsi
berfikir, merasa, dan bertindak dengan menekankan peran otak dalam menganalisa,
memutuskan, bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali. Dengan mengubah status
pikiran dan perasaannya, konseli diharapkan dapat mengubah tingkah lakunya,
dari negatif menjadi positif.
Berdasarkan paparan definisi
mengenai CBT, maka CBT adalah pendekatan konseling yang menitik beratkan pada
restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang
merugikan dirinya baik secara fisik maupun psikis. CBT merupakan konseling yang
dilakukan untuk meningkatkan dan merawat kesehatan mental. Konseling ini akan
diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa dan bertindak, dengan
menekankan otak sebagai penganalisa, pengambil keputusan, bertanya, bertindak,
dan memutuskan kembali. Sedangkan, pendekatan pada aspek behavior diarahkan
untuk membangun hubungan yang baik antara situasi permasalahan dengan kebiasaan
mereaksi permasalahan. Tujuan dari CBT yaitu mengajak individu untuk belajar
mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik,
berpikir lebih jelas dan membantu membuat keputusan yang tepat. Hingga pada
akhirnya dengan CBT diharapkan dapat membantu konseli dalam menyelaraskan
berpikir, merasa dan bertindak.
2.
Tujuan
Konseling CBT
Tujuan dari konseling Cognitive-Behavior (Oemarjoedi, 2003: 9)
yaitu mengajak konseli untuk menentang pikiran dan emosi yang salah dengan
menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang
masalah yang dihadapi. Konselor diharapkan mampu menolong konseli untuk mencari
keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam diri konseli dan secara kuat mencoba
menguranginya.
Dalam proses konseling, beberapa
ahli CBT (NACBT, 2007; Oemarjoedi, 2003) berasumsi bahwa masa lalu tidak perlu
menjadi fokus penting dalam konseling. Oleh sebab itu CBT dalam pelaksanaan
konseling lebih menekankan kepada masa kini dari pada masa lalu, akan tetapi
bukan berarti mengabaikan masa lalu. CBT tetap menghargai masa lalu sebagai
bagian dari hidup konseli dan mencoba membuat konseli menerima masa lalunya,
untuk tetap melakukan perubahan pada pola pikir masa kini untuk mencapai
perubahan di waktu yang akan datang. Oleh sebab itu, CBT lebih banyak bekerja
pada status kognitif saat ini untuk dirubah dari status kognitif negatif
menjadi status kognitif positif.
3.
Fokus
Konseling
CBT merupakan konseling yang menitik
beratkan pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat
kejadian yang merugikan dirinya baik secara fisik maupun psikis dan lebih melihat
ke masa depan dibanding masa lalu. Aspek kognitif dalam CBT antara lain
mengubah cara berpikir, kepercayaan, sikap, asumsi, imajinasi dan memfasilitasi
konseli belajar mengenali dan mengubah kesalahan dalam aspek kognitif.
Sedangkan aspek behavioral dalam CBT yaitu mengubah hubungan yang salah antara
situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan, belajar mengubah
perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, serta
berpikir lebih jelas.
4.
Prinsip –
Prinsip Cognitive-Behavior Therapy (CBT)
Walaupun konseling harus disesuaikan
dengan karakteristik atau permasalahan konseli, tentunya konselor harus
memahami prinsip-prinsip yang mendasari CBT. Pemahaman terhadap prinsip-prinsip
ini diharapkan dapat mempermudah konselor dalam memahami konsep, strategi dalam
merencanakan proses konseling dari setiap sesi, serta penerapan teknik-teknik
CBT.
Berikut adalah prinsip-prinsip dasar
dari CBT berdasarkan kajian yang diungkapkan oleh Beck (2011):
Prinsip nomor 1: Cognitive-Behavior Therapy didasarkan pada formulasi yang
terus berkembang dari permasalahan konseli dan konseptualisasi kognitif
konseli. Formulasi konseling terus diperbaiki seiring dengan
perkembangan evaluasi dari setiap sesi konseling. Pada momen yang strategis, konselor
mengkoordinasikan penemuan-penemuan konseptualisasi kognitif konseli yang
menyimpang dan meluruskannya sehingga dapat membantu konseli dalam penyesuaian
antara berfikir, merasa dan bertindak.
Prinsip nomor 2: Cognitive-Behavior Therapy didasarkan pada pemahaman yang
sama antara konselor dan konseli terhadap permasalahan yang dihadapi konseli. Melalui
situasi konseling yang penuh dengan kehangatan, empati, peduli, dan
orisinilitas respon terhadap permasalahan konseli akan membuat pemahaman yang
sama terhadap permasalahan yang dihadapi konseli. Kondisi tersebut akan
menunjukan sebuah keberhasilan dari konseling.
Prinsip nomor 3: Cognitive-Behavior Therapy memerlukan kolaborasi dan
partisipasi aktif. Menempatkan konseli sebagai tim dalam konseling maka
keputusan konseling merupakan keputusan yang disepakati dengan konseli. Konseli
akan lebih aktif dalam mengikuti setiap sesi konseling, karena konseli
mengetahui apa yang harus dilakukan dari setiap sesi konseling.
Prinsip nomor 4: Cognitive-Behavior Therapy berorientasi pada tujuan dan berfokus pada
permasalahan. Setiap sesi konseling selalu dilakukan evaluasi untuk
mengetahui tingkat pencapaian tujuan. Melalui evaluasi ini diharapkan adanya
respon konseli terhadap pikiran-pikiran yang mengganggu tujuannya, dengan kata
lain tetap berfokus pada permasalahan konseli.
Prinsip nomor 5: Cognitive-Behavior Therapy berfokus
pada kejadian saat ini. Konseling dimulai dari menganalisis
permasalahan konseli pada saat ini dan di sini (here and now). Perhatian konseling beralih pada dua keadaan.
Pertama, ketika konseli mengungkapkan sumber kekuatan dalam melakukan
kesalahannya. Kedua, ketika konseli terjebak pada proses berfikir yang
menyimpang dan keyakinan konseli dimasa lalunya yang berpotensi merubah
kepercayaan dan tingkahlaku ke arah yang lebih baik.
Prinsip nomor 6: Cognitive-Behavior Therapy merupakan
edukasi, bertujuan mengajarkan konseli untuk menjadi terapis bagi dirinya
sendiri, dan menekankan pada pencegahan. Sesi
pertama CBT mengarahkan konseli untuk mempelajari sifat dan permasalahan yang
dihadapinya termasuk proses konseling cognitive-behavior
serta model kognitifnya karena CBT meyakini bahwa pikiran mempengaruhi emosi
dan perilaku. Konselor membantu menetapkan tujuan konseli, mengidentifikasi dan
mengevaluasi proses berfikir serta keyakinan konseli. Kemudian merencanakan
rancangan pelatihan untuk perubahan tingkah lakunya.
Prinsip nomor 7: Cognitive-Behavior Therapy berlangsung pada waktu yang terbatas.
Pada kasus-kasus tertentu, konseling membutuhkan pertemuan antara 6 sampai 14
sesi. Agar proses konseling tidak membutuhkan waktu yang panjang, diharapkan
secara kontinyu konselor dapat membantu dan melatih konseli untuk melakukan self-help.
Prinsip nomor 8: Sesi Cognitive-Behavior Therapy yang terstruktur. Struktur ini
terdiri dari tiga bagian konseling. Bagian awal, menganalisis perasaan dan
emosi konseli, menganalisis kejadian yang terjadi dalam satu minggu kebelakang,
kemudian menetapkan agenda untuk setiap sesi konseling. Bagian tengah, meninjau
pelaksanaan tugas rumah (homework
asigment), membahas permasalahan yang muncul dari setiap sesi yang telah
berlangsung, serta merancang pekerjaan rumah baru yang akan dilakukan. Bagian
akhir, melakukan umpan balik terhadap perkembangan dari setiap sesi konseling.
Sesi konseling yang terstruktur ini membuat proses konseling lebih dipahami
oleh konseli dan meningkatkan kemungkinan mereka mampu melakukan self-help di akhir sesi konseling.
Prinsip nomor 9: Cognitive-Behavior Therapy mengajarkan konseli untuk mengidentifikasi,
mengevaluasi, dan menanggapi pemikiran disfungsional dan keyakinan mereka. Setiap
hari konseli memiliki kesempatan dalam pikiran-pikiran otomatisnya yang akan
mempengaruhi suasana hati, emosi dan tingkah laku mereka. Konselor membantu
konseli dalam mengidentifikasi pikirannya serta menyesuaikan dengan kondisi
realita serta perspektif adaptif yang mengarahkan konseli untuk merasa lebih
baik secara emosional, tingkahlaku dan mengurangi kondisi psikologis negatif.
Konselor juga menciptakan pengalaman baru yang disebut dengan eksperimen
perilaku. Konseli dilatih untuk menciptakan pengalaman barunya dengan cara
menguji pemikiran mereka (misalnya: jika saya melihat gambar laba-laba, maka
akan saya merasa sangat cemas, namun saya pasti bisa menghilangkan perasaan
cemas tersebut dan dapat melaluinya dengan baik). Dengan cara ini, konselor
terlibat dalam eksperimen kolaboratif. Konselor dan konseli bersama-sama
menguji pemikiran konseli untuk mengembangkan respon yang lebih bermanfaat dan
akurat.
Prinsip nomor 10: Cognitive-Behavior Therapy menggunakan berbagai teknik untuk merubah
pemikiran, perasaan, dan tingkah laku. Pertanyaan-pertanyaan yang berbentuk
sokratik memudahkan konselor dalam melakukan konseling cognitive-behavior. Pertanyaan dalam bentuk sokratik merupakan inti
atau kunci dari proses evaluasi konseling. Dalam proses konseling, CBT tidak
mempermasalahkan konselor menggunakan teknik-teknik dalam konseling lain
seperti kenik Gestalt, Psikodinamik, Psikoanalisis, selama teknik tersebut
membantu proses konseling yang lebih saingkat dan memudahkan konelor dalam
membantu konseli. Jenis teknik yang dipilih akan dipengaruhi oleh
konseptualisasi konselor tehadap konseli, masalah yang sedang ditangani, dan
tujuan konselor dalam sesi konseling tersebut.
5.
Teknik
Cognitive-Behavior Therapy (CBT)
CBT adalah pendekatan psikoterapeutik yang digunakan oleh konselor
untuk membantu individu ke arah yang positif. Berbagai variasi teknik perubahan
kognisi, emosi dan tingkah laku menjadi bagian yang terpenting dalam Cognitive-Behavior Therapy. Metode ini
berkembang sesuai dengan kebutuhan konseli, di mana konselor bersifat aktif,
direktif, terbatas waktu, berstruktur, dan berpusat pada konseli.
Konselor atau terapis
cognitive-behavior biasanya menggunakan berbagai teknik intervensi untuk
mendapatkan kesepakatan perilaku sasaran dengan konseli. Teknik yang biasa
dipergunakan oleh para ahli dalam CBT (McLeod, 2006: 157-158) yaitu:
a.
Manata
keyakinan irasional.
b.
Bibliotherapy,
menerima kondisi emosional internal sebagai sesuatu yang menarik ketimbang
sesuatu yang menakutkan.
c.
Mengulang
kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role play dengan konselor.
d.
Mencoba
penggunaan berbagai pernyataan diri yang berbeda dalam situasi ril.
e.
Mengukur
perasaan, misalnya dengan mengukur perasaan cemas yang dialami pada saat ini
dengan skala 0-100.
f.
Menghentikan
pikiran. Konseli belajar untuk menghentikan pikiran negatif dan mengubahnya
menjadi pikiran positif.
g.
Desensitization systematic. Digantinya
respons takut dan cemas dengan respon relaksasi dengan cara mengemukakan
permasalahan secara berulang-ulang dan berurutan dari respon takut terberat
sampai yang teringan untuk mengurangi intensitas emosional konseli.
h.
Pelatihan
keterampilan sosial. Melatih konseli untuk dapat menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan sosialnya.
i.
Assertiveness skill training atau
pelatihan keterampilan supaya bisa bertindak tegas.
j.
Penugasan
rumah. Memperaktikan perilaku baru dan strategi kognitif antara sesi konseling.
k.
In vivo exposure. Mengatasi
situasi yang menyebabkan masalah dengan memasuki situasi tersebut.
l.
Covert conditioning, upaya
pengkondisian tersembunyi dengan menekankan kepada proses psikologis yang
terjadi di dalam diri individu. Peranannya di dalam mengontrol perilaku
berdasarkan kepada imajinasi, perasaan dan persepsi.
6.
Karakteristik
Cognitive-Behavior Therapy (CBT)
CBT merupakan bentuk psikoterapi
yang sangat memperhatikan aspek peran dalam berpikir, merasa, dan bertindak.
Terdapat beberapa pendekatan dalam psikoterapi CBT termasuk didalamnya
pendekatan Rational
Emotive Behavior Therapy, Rational Behavior Therapy, Rational Living Therapy,
Cognitive Therapy, dan Dialectic
Behavior Therapy. Akan tetapi CBT memiliki karakteristik tersendiri yang
membuat CBT lebih khas dari pendekatan lainnya.
Berikut akan disajikan mengenai
karakteristik CBT (NACBT, 2007):
a.
CBT
didasarkan pada model kognitif dari respon emosional. CBT didasarkan pada fakta
ilmiah yang menyebabkan munculnya perasaan dan prilaku, situasi dan peristiwa.
Keuntungan dari fakta ini adalah seseorang dapat mengubah cara berpikir, cara
merasa, dan cara berprilaku dengan lebih baik walaupun situasi ridak berubah.
b.
CBT lebih
cepat dan dibatasi waktu. CBT merupakan konseling yang memberikan bantuan dalam
waktu yang relative lebih singkat dibandingkan dengan pendekatan lainnya.
Rata-rata sesi terbanyak yang diberikan kepada konseli hanya 16 sesi. Berbeda
dengan bentuk konseling lainnya, seperti psikoanalisa yang membutuhkan waktu
satu tahun. Sehingga CBT memungkinkan konseling yang lebih singkat dalam
penanganannya.
c.
Hubungan
antara konseli dengan terapis atau konselor terjalin dengan baik. Hubungan ini
bertujuan agar konseling dapat berjalan dengan baik. Konselor meyakini bahwa
sangat penting untuk mendapatkan kepercayaan dari konseli. Namun, hal ini tidak
cukup bila tidak diiringi dengan keyakinan bahwa konseli dapat belajar mengubah
cara pandang atau berpikir sehingga akhirnya konseli dapat memberikan konseling
bagi dirinya sendiri.
d.
CBT
merupakan konseling kolaboratif yang dilakukan terapis atau konselor dan
konseli. Konselor harus mampu memahami maksud dan tujuan yang diharapkan
konseli serta membantu konseli dalam mewujudkannya. Peranan konselor yaitu
menjadi pendengar, pengajar, dan pemberi semangat.
e.
CBT
didasarkan pada filosofi stoic (orang
yang pandai menahan hawa nafsu). CBT tidak menginformasikan bagaimana
seharusnya konseli merasakan sesuatu, tapi menawarkan keuntungan perasaan yang
tenang walaupun dalam keadaan sulit.
f.
CBT
mengunakan metode sokratik. Terapis atau konselor ingin memperoleh pemahaman
yang baik terhadap hal-hal yang dipikirkan oleh konseli. Hal ini menyebabkan
konselor sering mengajukan pertanyaan dan memotivasi konseli untuk bertanya
dalam hati, seperti “Bagaimana saya tahu bahwa mereka sedang menertawakan
saya?” “Apakah mungkin mereka menertawakan hal lain”.
g.
CBT memiliki
program terstruktur dan terarah. Konselor CBT memiliki agenda khusus untuk
setiap sesi atau pertemuan. CBT memfokuskan pada pemberian bantuan kepada
konseli untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Konselor CBT
tidak hanya mengajarkan apa yang harus dilakukan oleh konseli, tetapi bagaimana
cara konseli melakukannya.
h.
CBT
didasarkan pada model pendidikan. CBT didasarkan atas dukungan secara ilmiah
terhadap asumsi tingkah laku dan emosional yang dipelajari. Oleh sebab itu,
tujuan konseling yaitu untuk membantu konseli belajar meninggalkan reaksi yang
tidak dikehendaki dan untuk belajar sebuah reaksi yang baru. Penekanan bidang
pendidikan dalam CBT mempunyai nilai tambah yang bermanfaat untuk hasil tujuan
jangka panjang.
i.
CBT merupakan
teori dan teknik didasarkan atas metode induktif. Metode induktif mendorong
konseli untuk memperhatikan pemikirannya sebagai sebuah jawaban sementara yang
dapat dipertanyakan dan diuji kebenarannya. Jika jawaban sementaranya salah
(disebabkan oleh informasi baru), maka konseli dapat mengubah pikirannya sesuai
dengan situasi yang sesungguhnya.
j.
Tugas rumah
merupakan bagian terpenting dari teknik CBT,
karena dengan pemberian tugas, konselor memiliki informasi yang memadai tentang
perkembangan konseling yang akan dijalani konseli. Selain itu, dengan tugas
rumah konseli terus melakukan proses konselingnya walaupun tanpa dibantu
konselor. Penugasan rumah inilah yang membuat CBT lebih cepat dalam proses
konselingnya.
7.
Merencanakan
Proses dan Sesi Konseling
Tujuan utama dari konseling yaitu
untuk membuat proses konseling mudah dipahami oleh konselor dan konseli.
Konselor akan mencoba melakukan proses konseling seefisien mungkin, sehingga
dapat meringankan atau menyelesaikan permasalahan secepat mungkin. Dengan
demikian perencanaan diperlukan untuk memudahkan proses konseling, karena CBT
bukan konseling yang didasarkan pada hafalan langkah-langkah konseling namun
berpusat pada permasalahan konseli.
Pada umumnya konseli lebih merasa
nyaman ketika mereka mengetahui apa akan didapatkan dari setiap sesi konseling,
mengetahui dengan jelas apa yang dilakukan dari setiap sesi konseling, merasa
sebagai tim dalam proses konseling, serta ketika konseli memiliki ide-ide
konkret mengenai proses konseling dan ketercapaian konseling. Kondisi ini bila
ditindaklanjuti oleh konselor melalui perencanaan sesi konseling dengan matang
membuat proses konseling berjalan dengan baik. Perencanaan dari setiap sesi
konseling tentunya harus didasarkan pada gejala-gejala yang ditunjukan oleh
konseli, konseptualisasi konselor, kerjasama yang baik antara konselor dan
konseli, serta evaluasi tugas rumah yang dilakukan oleh konseli.
Menurut teori Cognitive-Behavior yang dikemukakan oleh Aaron T. Beck (Oemarjoedi,
2003: 12), konseling cognitive-behavior
memerlukan sedikitnya 12 sesi pertemuan. Setiap langkah disusun secara
sistematis dan terencana. Berikut akan disajikan proses konseling cognitive-behavior.
Tabel 1
Proses Konseling Berdasarkan Konsep
Aaron T. Back
No.
|
Proses
|
Sesi
|
1.
|
Assesmen dan Diagnosa
|
1-2
|
2.
|
Pendekatan Kognitif
|
2-3
|
3.
|
Formulasi Status
|
3-5
|
4.
|
Fokus Konseling
|
4-10
|
5.
|
Intervensi Tingkah Laku
|
5-7
|
6.
|
Perubahan Core
Beliefs
|
8-11
|
7.
|
Pencegahan
|
11-12
|
Oemarjoedi
(2003: 12)
Melihat kultur yang ada di
Indonesia, penerapan sesi yang berjumlah 12 sesi pertemuan dirasakan sulit
untuk dilakukan. Oemarjoedi (2003: 12) mengungkapkan beberapa alasan tersebut
berdasarkan pengalaman, diantaranya:
a.
Terlalu
lama, sementara konseli mengharapkan hasil yang dapat segera dirasakan
manfaatnya.
b.
Terlalu
rumit, di mana konseli yang mengalami gangguan umumnya datang dan berkonsultasi
dalam kondisi pikiran yang sudah begitu berat, sehingga tidak mampu lagi
mengikuti program konseling yang merepotkan, atau karena kapasitas intelegensi
dan emosinya yang terbatas.
c.
Membosankan,
karena kemajuan dan perkembangan konseling menjadi sedikit demi sedikit.
d.
Menurunnya
keyakinan konseli akan kemampuan konselornya, antara lain karena alasan-alasan
yang telah disebutkan di atas, yang dapat berakibat pada kegagalan konseling.
Berdasarkan beberapa alasan di atas,
penerapan konseling cognitive-behavior
di Indonesia sering kali mengalami hambatan, sehingga memerlukan penyesuaian
yang lebih fleksibel. Jumlah pertemuan konseling yang tadinya memerlukan
sedikitnya 12 sesi bisa saja diefisiensikan menjadi kurang dari 12 sesi.
Sebagai perbandingan berikut akan
disajikan efisiensi konseling menjadi 6 sesi, dengan harapan dapat memberikan
bayangan yang lebih jelas dan mengundang kreativitas yang lebih tinggi.
Tabel 2
Proses
Konseling Cognitive-Behavior
yang Telah Disesuaikan Dengan Kultur
di Indonesia
No.
|
Proses
|
Sesi
|
1.
|
Assesmen dan Diagnosa
|
1
|
2.
|
Mencari
Akar Permasalahan yang Bersumber dari Emosi Negatif, Penyimpangan Proses Berfikir,
dan Keyakinan Utama Yang Berhubungan Dengan Gangguan
|
2
|
3.
|
Konselor Bersama Konseli Menyusun Rencana Intervensi
Dengan Memberikan Konsekwensi Positif-Negatif Kepada Konseli
|
3
|
4.
|
Menata Kembali Keyakinan yang Menyimpang
|
4
|
5.
|
Intervensi Tingkah Laku
|
5
|
6.
|
Pencegahan dan Training Self-Help
|
6
|
8.
Fakta-Fakta
Hypnosis dalam CBT
Fakta-fakta hypnosis dalam CBT yang
disajikan berikut merupakan kajian analisis Aladin (2008: ix) terhadap CBT
setelah beliau belajar langsung kepada Aaton T. Beck yang merupakan father of
cognitive-behavior therapy. Beck (Aladin, 2008: ix) mendorong individu/ konseli
memahami dan merekonstruksi proses berfikir yang menyimpang, kemudian merubah
pikiran-pikiran otomatisnya serta merubah tingkah laku yang menyimpang. Beck
melatih konselinya untuk memahami ide-ide dengan baik serta metode yang sedang
dilatihkan untuk mengendalikan pikiran, perasaan dan tingkah lakunya. Pada
tahap restrukturisasi kognitif, Beck melakukan sesuatu yang menarik yaitu
dengan memerintahkan konseli menutup matanya dan melatih konseli untuk
berimajinasi (teknik ini disebut dengan teknik covert conditioning). Konseli tersebut dilatih memvisualisasikan
dirinya dalam berbagai situasi baik situasi sebelum maupun setelah permasalahan
muncul. Beck menyarankan konseli membayangkan dirinya berada pada situasi yang
berbeda, bahkan pandangan dari sisi lain yang membantu konseli dalam
menyelesaikan masalahnya. Pada proses tersebut Beck juga menyarankan konseli
fokus pada bagaimana pikirannya menyimpang dikoreksi melalui pikiran-pkiran
yang baru melalui self-talk dan homework
asigment. Konseli disugestikan untuk mengasosiasikan pikiran-pikiran baru
serta situasi emosi dan perasaan-perasaannya. Setelah itu konseli ditanya
mengenai apa yang mereka rasakan setelah disugestikan pikiran-pikiran positif.
Respon positif akan terlihat dari raut muka yang ditunjukan konseli.
Proses restrukturisasi kognitif yang
dilakukan oleh Beck mirip dengan proses hypnosis, yaitu dengan menutup mata dan
memerintahkan konselinya untuk membayangkan sesuatu yang diperintahkan oleh
konselornya. Ketika konseli berada dalam proses hypnosis, konseli sepenuhnya
masih mendengar suara di sekelilingnya, bahkan konseli masih dapat merasakan
apa yang terjadi di sekelilingnya. Kondisi hypnosis merupakan salah satu
kondisi kesadaran (state of consciousness)
bukan kondisi tidak sadar. Para ahli hypnosis lebih senang menyebutnya dengan
alam bawah sadar. Kondisi tersebut diperoleh dengan cara menurunkan gelombang
otak dari betha menjadi alpha atau theta. Kondisi hypnosis memudahkan konseli untuk menerima saran
atau informasi. Mudahnya konseli dalam menerima saran atau informasi dapat
dimanfaatkan oleh konselor untuk mengeksplorasi penyimpangan struktur kognitif
konseli yang tersimpan pada alam bawah sadarnya.
Prosedur intervensi yang disajkan
pada dua paragraph di atas oleh Beck (Aladin, 2008: ix) merupakan prosedur
visualisasi yang kemudian disebut sebagai “succsess
imagery”. Beck menyebut dirinya tidak melakukan hypnosis, namun proses
intervensi tersebut merupakan proses hypnosis. Berdasarkan dimamika
perkembangan hypnosis, “succsess imagery”
disebut sebagai keberhasilan perkembangan teknik intervensi, sebuah pengalaman
yang tidak hanya menekankan pada aspek kognitif, namun berorientasi pada masa
depan yang mendorong konseli untuk mengembangkan hubungan antara pikiran,
perasaan dan tingkah laku. Hypnosis dapat meningkatkan sense of personal control seperti internal locus of control dan fleksibilitas kondisi-kondisi yang
muncul. Hypnosis memudahkan konselor dalam melatih konseli memaknai kualitas
respon dari setiap sesi konseling. Pada setiap sesi konseling, konseli dilatih
untuk melakukan self-help/ self-talk/
self-therapy agar perubahan positif tersebut bersifat permanent.
Para konselor CBT memfokuskan pada
“pikiran-pikiran otomatis” yang lebih mudah terlihat bila konseli berada pada
kondisi non-volitional dan non-conscious. Dalam hypnosis
pikiran-pikiran otomatis tersebut disebut sebagai ideo-cognitive responses atau ideo-sensory.
Baik pikiran-pikiran otomatis maupun ideo-cognitive
responses, keduanya sama-sama bertujuan untuk mengurangi proses berfikir
yang menyimpang serta meningkatkan proses berfikir positif.
Salah satu teknik CBT ada yang
disebut covert conditioning, sebuah
teknik pengkondisian tersembunyi dengan menekankan kepada proses psikologis
yang terjadi di dalam diri individu dengan mengontrol perilaku berdasarkan
imajinasi (kemudian disebut succsess
imagery), perasaan dan persepsi. Proses teknik covert conditioning ini mirip dengan proses hypnosis. Banyak
literatur-literatur yang menunjukan hypnosis dapat mempermudah proses konseling
CBT. Salah satunya yaitu buku Aladin (2008). Dengan demikian, tidak dipungkiri
bahwa dalam pendekatan CBT terdapat proses hypnosis, dan hypnosis dapat
mempermudah proses konseling CBT. Temuan ini menunjukan berlakunya prinsip CBT
nomor 10, yang bukan sebuah ketabuan adanya teknik lain muncul dalam CBT.
Beberapa teknik dalam hypnosis yang
sesuai dengan teknik-teknik atau proses konseling CBT diantaranya:
a.
Desensitization systematic
Desensitization systematic merupakan teknik hypnotherapy untuk
merubah respon takut dan cemas dengan respon relaksasi. Langkah-langkah untuk
merubah respon tersebut dengan cara mengemukakan permasalahan secara
berulang-ulang dan berurutan dari respon takut terberat sampai yang teringan.
Teknik ini digunakan untuk mengurangi intensitas emosional konseli, agar
konseli mampu berpikir, merasa, dan bertindak dengan sehat.
b.
Dissociation.
Teknik dissociation mengajak konseli membayangkan dirinya menjadi seorang
pengamat terhadap permasalahan yang sedang dihadapi dari sudut pandang lain.
Teknik ini membawa konseli menemukan proses kognitif yang menyimpang atau
permasalahannya serta membandingkan pandangan dari sudut pandang yang lain
sampai konseli menemukan solusinya sendiri.
c.
Ideo Sensory
Konselor membimbing konseli untuk
mengungkap keterangan tersembunyi dengan menggunakan respon yang
diinterpretasikan dalam bentuk rasa atau sensasi (ideo sensory) dan gerakan fisik (ideo motoric). Teknik ini digunakan untuk menggali informasi yang
diperlukan sebagai alat bantu hypnotherapeutic lainnya.
d.
Part Therapy
Part therapy merupakan teknk hypnotherapy dengan cara memisahkan
dua bagian permasalahan yang bertentangan dalam diri manusia. Kemudian
mengintegrasikannya agar selaras dan dapat mendukung untuk mencapai target yang
telah ditetapkan.
C.
Kesimpulan
Karakteristik konseli di Indonesia
menginginkan proses konseling yang cepat dan memiliki hasil yang baik. Konseli
enggan untuk melakukan konseling yang membutuhkan waktu cukup lama. Selain itu,
ada baiknya konseling bukan bersifat menceramahi atau hanya ngobrol antara
konselor dan konseli. Oleh sebab itu, konseling harus berorentasi pada efektivitas
waktu dan tidak hanya bersifat wacana saja.
Cognitive-Behavior Therapy (CBT) menawarkan alternatif
konseling yang bukan berbentuk ceramah, tapi melatih konseli untuk melakukan
perubahan-perubahan tingkah laku untuk membuktikan pikiran yang menyimpang. CBT
menekankan pada restrukturisasi kognitif yang menyimpang, kemudian
perubahan-perubahan kognitif tersebut diperkuat dengan pelatihan tingkah laku.
Perubahan antara kognitif yang diperkuat perubahan tingkah laku membuat
permasalahan yang dihadapi oleh konseli terselesaikan dengan segera sehingga
konseli dapat berfikir, merasa, dan bertindak dengan tepat. Setiap sesi
konseling CBT, konseli diajarkan untuk terus melakukan self-help atau self-therapy.
Langkah self-help tersebut tentu
memperkuat konseli untuk terus memperbaiki dirinya.
CBT tidak melarang konselor untuk
mempergunakan teknik lain yang lebih kreatif agar konseling dapat berjalan
dengan baik. Prinsip tersebut menunjukan CBT dipengaruhi oleh teknik-teknik
atau teori konseling yang sebelumnya telah ada. Artinya munculnya teori CBT
bukan berarti mematahkan teori atau teknik yang telah ada bahkan CBT menganggap
teknik yang terdahulu dapat dipergunakan untuk melengkapi teknik CBT. Hal ini
menunjukan bahwa dalam proses konseling CBT terdapat proses hypnosis, walau
Beck (Aladin, 2008: ix) menyebut dirinya tidak melakukan hypnosis. Hypnosis
dalam CBT dapat dipergunakan untuk mengdiagnosis proses kognitif yang
menyimpang. Selain itu, restrukturisasi kognitif pun dapat mempergunakan teknik
hypnotherapy desensitization systematic,
dissociation, ideo-sensory, parts
therapy. Langkah terakhir yang selalu disebut-sebut dalam CBT yaitu self-help, dapat menggunakan pendekatan self-hypnosis. Inti dari self-help dan self-hypnosis tidaklah berbeda, yaitu untuk memprogram diri konseli
agar melakukan sesuatu tindakan yang mendukung proses konseling.
D.
Reference:
Aladin, Assen. (2008). Cognitive Hypnotherapy: An Integrated
Approach to the Treatment of Emotional Disorders. London: John Wiley &
Sons Ltd.
Alford, B. A., & Beck, A. T. (1997). The Integrative Power of Cognitive Therapy.
New York: Guilford Press.
Beck, A. T. (1964). Thinking and
Depression: II. Theory and Therapy. Archives
of General Psychiatry, 10, 561–571.
Beck, Judith S. (2011). Cognitive-Behavior Therapy: Basic and Beyond (2nd ed).
New York: The Guilford Press.
Bush, John Winston. (2003). Cognitive
Behavioral Therapy: The Basics. [Online]. Tersedia:
http://cognitivetherapy.com/basics.html [------]
Chaplin, J.P. (2000). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Corey, Gerald. (2005). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT. Refika
Aditama.
Jarvis, Matt. (2006). Teori-Teori Psikologi: Pendekatan Modern untuk Memahami Perilaku,
Perasaan dan Pikiran Manusia. Bandung: Nuansa.
Matson, Jhonny L & Thomas H. Ollendick. (1988). Enhancing
Children’s Social Skill: Assessment and Training. New York: Pergamon Press.
McLeod, John. (2006). Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus. Alih Bahasa oleh A.K. Anwar.
Jakarta: Kencana.
NACBT. (2007). Cognitive-Behavioral
Therapy. [Online]. Tersedia: http://www.nacbt.org/whatiscbt.htm [5 Januari 2007].
Oemarjoedi, A. Kasandra. (2003). Pendekatan Cognitive Behavior dalam Psikoterapi. Jakarta: Kreativ
Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar